Istana Kepresidenan Tampaksiring berada pada ketinggian lebih kurang 700 meter dari permukaan laut, berlokasi di atas perbuktian di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Pulau Bali. Merupakan satu-satunya istana kepresidenan yang dibangun masa pemerintahan Indonesia yang dibangun pada tahun 1957 - tahun 1960, sepenuhnya ditangani oleh putra-putra Indonesia, atas prakasa Presiden I Republik Indonesia : Soekarno.
Nama Tampaksiring diambil dari dua buah kata bahasa Bali, tampak (bermakna telapak) dan siring (bermakna miring). Menurut legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu berasal dari bekas tapak kaki seorang raja yang bernama Mayadenawa. Kawasan hutan yang dilalui Raja Mayadenawa dengan berjalan di atas kakinya yang dimiringkan itulah wilayah ini dikenal dengan nama Tampaksiring.
Istana Tampaksiring dibangun secara bertahap, arsiteknya R.M Soedarsono. Pertama kali dibangun adalah Wisma Merdeka dan Wisma Yudhistira pada tahun 1957, dilanjutkan perampungan tahun 1963. Selanjutnya untuk kepentingan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XIV, di Bali pada tanggal 7 - 8 Oktober 2003, di bangun gedung baru dan merenovasi Balai Wantilan, bangunan pintu masuk tersendiri yang dilengkapi dengan Candi Bentar, Kori Agung, serta Lapangan Parkir berikut Balai Bengongnya.
Istana Tampaksiring difungsikan disamping untuk acara-acara Presiden dan Wakil Presiden dalam hal kepemerintahan dan kenegaraan, juga peruntukan untuk tempat peristirahatan bagi Presiden dan Wakil Presiden peserta keluarga, serta bagi tamu-tamu negara. Menurut catatan, tamu-tamu negara yang pernah berkunjung ke Istana Kepresidenan Tampaksiring, antara lain Presiden Ne Win dari Birma; Presiden Tito dari Yogoslavia, Presiden Ho Chi Minh dari vietnam, Perdana Menteri Nehru dari India, Perdana Menteri Khruschev dari Unit Soviet, Ratu Juliana dari Belanda dan Kaisar Hirohito dari Jepang.
Komplek Istana Kepresidenan Tampaksiring kini terdiri dari lima gedung utama dan satu pendapa. Dua gedung utama diberi nama Wisma Merdeka (1.200 meter persegi) dan Wisma Negara (1.476 meter persegi) yang dipisahkan oleh celah bukit sedalam lebih kurang 15 meter namun terhubung dengan jembatan sepanjang 40 meter, tiga gedung utama yang lainnya diberi nama Wisma Yudhistira, Wisma Bima, dan ruang untuk konferensi, serta Balai Wantilan.
Masih di dalam kawasan Istana Tampak Siring, Anda juga bisa menyaksikan obyek wisata yang berasal dari legenda bali yaitu Pura Tirta Empul. Menurut mitos lokal, mata air suci yang ada di tempat ini berasal dari kisah Raja Mayadenawa yang karena kesombongannya kemudian dihukum oleh Betara Indra dengan mengutus bala tentara.
Karena serangan tersebut, Mayadenawa kemudian melarikan diri ke hutan dan menciptakan mata air beracun untuk membunuh para tentara yang mengejarnya. Untuk menanggulangi dampak buruk mata air itu, Betara Indra kemudian membuat mata air penawarnya yaitu Tirta Empul (air suci).
Mengenai nama istananya sendiri, masih dalam pengejaran oleh bala tentara, untuk mengelabuhi mereka, Mayadenawa kemudian memiringkan jalannya, namun tipu daya itu tidak berhasil. Ini bisa terlihat dari arti katanya yaitu tampak dan siring yang berati telapak dan miring.
Bila hendak berkunjung, objek wisata ini berjarak lebih kurang 40 kilometer dari Denpasar dan dapat ditempuh dengan kendaran pribadi ataupun taksi. Namun, untuk wisata yang praktis, Anda dapat menyewa jasa biro perjalanan
Pura Luhur Uluwatu
Pura Luhur Uluwatu atau Pura Uluwatu merupakan pura yang berada di wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung.
Pura yang terletak di ujung barat daya pulau Bali di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut ini merupakan Pura Sad Kayangan yang dipercaya oleh orang Hindu sebagai penyangga dari 9 mata angin. Pura ini pada mulanya digunakan menjadi tempat memuja seorang pendeta suci dari Abad 11 bernama Empu Kuturan. Ia menurunkan ajaran Desa Adat dengan segala aturannya. Pura ini juga dipakai untuk memuja pendeta suci berikutnya, yaitu Dang Hyang Nirartha, yang datang ke Bali di akhir tahun 1550 dan mengakhiri perjalanan sucinya dengan apa yang dinamakan Moksah/Ngeluhur di tempat ini. Kata inilah yang menjadi asal nama Pura Luhur Uluwatu.
Pura Uluwatu terletak pada ketinggian 97 meter dari permukaan laut. Di depan pura terdapat hutan kecil yang disebut alas kekeran, berfungsi sebagai penyangga kesucian pura.
Pura Uluwatu mempunyai beberapa pura pesanakan, yaitu pura yang erat kaitannya dengan pura induk. Pura pesanakan itu yaitu Pura Bajurit, Pura Pererepan, Pura Kulat, Pura Dalem Selonding dan Pura Dalem Pangleburan. Masing-masing pura ini mempunyai kaitan erat dengan Pura Uluwatu, terutama pada hari-hari piodalan-nya. Piodalan di Pura Uluwatu, Pura Bajurit, Pura Pererepan dan Pura Kulat jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia setiap 210 hari. Manifestasi Tuhan yang dipuja di Pura Uluwatu adalah Dewa Rudra.
Surfing Uluwatu |
Pura Uluwatu juga menjadi terkenal karena tepat di bawahnya adalah pantai Pecatu yang sering kali digunakan sebagai tempat untuk olahraga surfing, bahkan event internasional seringkali diadakan di sini. Ombak pantai ini terkenal amat cocok untuk dijadikan tempat surfing selain keindahan alam Bali yang memang amat cantik.
Situs Candi Budha Kalibukbuk
Setelah lima belas tahun dalam proses pemugaran setelah ditemukan seorang warga saat menggali sumur, Situs Candi Budha Kalibukbuk kini berdiri dengan kokoh dan dibuka untuk umum setelah diresmikan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RepublikIndonesia.
Situs Candi Budha Kalibukbuk yang berlokasi di Desa Kalibukbuk, sebelah selatan persimpangan Lovina, Minggu (24/5) diresmikan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Hari Untoro Drajat dan selanjutnya keberadaan peninggalan abad VII – XIV Masehi itu dinyatakan terbuka untuk umum.
Sesuai dengan UU.RI No. 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya, keberadaan Situs Candi Budha Kalibukbuk, yang dipugar diatas lahan seluas 6 are milik Anak Agung Ngurah Sentanu, dapat dimanfaatkan masyarakat untuk kepentingan agama, sosial, ilmu pengetahuan, dan pariwisata.
keberadaan Situs Candi Budha Kalibukbuk, pertama kali diketahui dengan ditemukannya stupika dan meterial tanah liat oleh penduduk setempat saat melakukan penggalian kolam renang di belakang Hotel Angsoka pada tahun 1991, kemudian pada tahun 1994, untuk kali kedua ditemukan benda serupa dikebun kelapa milik Anak Agung Sentanu saat akan mengali tanah untuk membuat sumur.
Dari penemuan itu, selanjutnya dilakukan penelitian secara intensif mulai tahun 1994 sampai dengan tahun 2002. Sedangkan pemugarannya berlangsung tahun 2004-2009. Dari eskavasi penyelamatan, ditemukan batu bata bertulis motif sulur-suluran, relief gajah dan gana yang merupakan bagian dari candi, 100 stupika, serta susunan batu andesit. Berdasarkan temuan itu, Candi Kalibukbuk diperkirakan berasal dari sekitar abad VII-XIV Masehi.
Pemandangan Indah "Jatiluwih"
Salah satu tempat yg di usulkan untuk menjadi " World Herritages " ato " Warisan Dunia " dari Indonesia.Jatiluwih, terletak pada ketinggian 700 m diatas permukaan laut, + 27 km ke arah Utara kota Tabanan. Jati Luwih sebagai Desa Wisata merupakan salah satu obyek yang terindah di Bali, dengan pemandangan yang luas dan panorama sawah yang bertingkat yang tiada taranya. Di sebelah utaranya dilatarbelakangi oleh gunung yang berhutan lebat dengan udara yang sejuk dan bersih.
Daerah persawahan ini berbentuk teras dengan luas sekitar 636 hektar. Sawah ini menggunakan sistem pengairan subak yaitu sistem pengairan atau irigasi tradisional Bali yang berbasis masyarakat. Subak memiliki pura yang dibangun untuk dewi kemakmuran dan dewi kesuburan. Keunikan sawah berteras inilah yang membuat Jatiluwih dinominasikan masuk daftar UNESCO World Herritages sebagai warisan budaya dunia.
Daerah yang terdiri dari kata "Jati" dan "Luwih" yang berarti "benar benar indah" ini juga menyediakan permainan air yang bisa Anda nikmati. Setelah Anda memakai pelampung, helm, serta peralatan lainnya,Anda akan menuju ke tempat permainan air.Permainan air berada di sebuah sungai yang dibendung aliran airnya. Anda akan menyusuri sungai dengan menggunakan sebuah ban pelampung. Anda hanya tinggal tidur diatas pelampung sambil menikmati pemandangan di kanan kiri anda, dan aliran sungai akan terus membawa Anda ke permainan selanjutnya, yaitu Anda akan bermain rafting atau arung jeram.
Setelah sampai di tempat rafting, Anda harus naik ke sebuah perahu karet yang berkapasitas 2 orang. Seorang pemandu akan ikut dalam perahu karet dan bertugas untuk mendayung. Dalam perahu karet, Anda akan merasakan air sungai yang akan menghantam Anda sepanjang sungai yang disusuri. Selesai dengan perahu karet, Anda akan naik jeep off the road kecil untuk kembali ke restoran.
Bila Anda ingin lebih menikmati panorama dan merasakan perjalanan off road, Anda sebaiknya duduk di bagian depan jeep agar bisa lebih leluasa melihat sekeliling dan merasakan perjalanan Anda. Setelah sampai restoran. Bila Anda ingin melupakan sejenak rutinitas perkotaan, suasana pedesaan Jatiluwih di Bali siap menyambut Anda.
Untuk Wisata Nusantara.
Email ke : surya_wisatapkl@yahoo.co.id
0 komentar :
Posting Komentar